WN–SOREANG: Ketua Komisi D, DPRD Kabupaten Bandung, H Maulana Fahmi menilai, adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal terhadap 13 ribu buruh yang bekerja di puluhan pabrik di Kabupaten Bandung, harus ada interfensi pemerintah.
Proses PHK, tutur Fahmi, ada konswekwensinya yang diatur Undang-undang. Pastikan semua pihak, terutama pemerintah sebagai fasilitator.
“Maka regulasinya harus dijalankan oleh semua pihak. Misalkan kalau ada prosedur PHK, karyawan mestinya bagaimana, setiap perusahaan harus seperti apa? Jadi Itu yang menjadi wasit, yang memfasilitasinya dinas tenaga kerjà dan perlu koordinasi dèngan pengawasan Dinas Tenaga Kerja Provinsi,” kata Maulana Fahmi, saat dimintai komentarnya di Gedung DPRD Kabupaten Bandung, Soreang, Kamis (6/8-2020).
Namun Fahmi mengaku, pihaknya saat ini belum mendapat informasi detàil terkait PHK masal tersebut. “Yang jelas kondisi ini sangat memprihatinkan. Ini èfek pandemi covid 19, efek krisis ekonomi sehingga banyak buruh di PHK,” ucap anggota dewan dari Fraksi PKS ini.
Makanya, tutur Fahmi, pemerintah harus berbuat. Minimal proses PHK harus dipastikan sesuai ketentuan. Intervensi Dinas Tenaga Kerja diharapkan harus lebih kuat.
“Kalaunpun itu terpaksa, kalau pun ada alternatif, misalnya pihak perusahaan tidak sanggup membayar, kan ada aturannya,” papar Fahmi.
“Komisi D datanya belum dapat, mudah-mudahan nanti kita akan kordinasi dengan pihak Dinas Tenaga Kerja dan kita akan cek, baik ceknya di meja dengan Disnaker atau dengan gresroot para buruh,” ungkap Fahmi.
Seperti disampaikan Ketua DPD SPSI Kabupaten Bandung, Uben Yunara, sedikitnya 13 ribu orang buruh yang bekerja di 21 pabrik di Kabupaten Bandung, terancam pemutusan hubungan keraja (PHK) masal.
Pihak SPSI, kata Uben, akan yerus berupaya memperjuangkan terhadap 13 ribu buruh tersebut, agar mereka bisa mendapatkan haknya, berupa pesangon, THR, dan Upah (gaji).
“Saat ini baru dua pabrik saja yang bersedia memenuhi tuntutan buruh, yaitu Pabrik Ferinatex dan Malakasari. Untuk Ferinatex sudah memberikan hak buruh dengan total perorangnya sekitar Rp 60 juta untuk 500 orang buruh, jadi totalnya mencapai Rp30 milyar,” katanya via seluler, Selasa (4/7/2020).
Untuk perusahaan Malakasari, sudah bersedia membayar buruh berkisar Rp40 milyar dengan total buruh lebih dari 500 orang.
Pabrik-pabrik lainnya, tutur Uben, saat ini tengah melakukan sidang Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). Antara lain meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dapat diselesaikan dengan melalui dua jalur yaitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan.
Menurut Uben, pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Hubungan Industrial, mengatur bahwa perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu, (melalui perundingan bipatrit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila upaya bipatrit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak melakukan pengaduan ke Dinas Ketenagakerjaan.
“Hal itu sudah kami tempuh sesuai dengan prosedur, jadi langkah selanjutnya hanya melalui PHI diharapkan permasalahan buruh bisa terselesaikan,” ujarnya.
Diakui Uben, alasan pabrik melakukan PHK sepihak terhadap buruh karena terdampak Virus Corona (Covid-19). Namun hal isrètu bukan berarti hak buruh harus diabaikan, sehingga kaum buruh harus mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dia beserta pengurus lainnya akan terus memperjuangkan hak buruh hingga bisa terpenuhi. Menurutnya, jangan sampai kaum buruh yang merupakan masyarakat kecil menjadi korban kesewenang-wenangan pengusaha. Kaum buruh pun punya hak untuk mendapatkan keinginannya, dan pengusaha harus bisa memenuhi tuntutan para buruh tersebut.*Deddy