SOREANG, WN.net – Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung, Maulana Fahmi, S.Si., merasa khawatir terjadinya rawan siswa atau rawan putus sekolah di Kabupaten Bandung. Baik dampak sitem zonasi mapun akibat perkembangan ekonomi.
“Saya khawatir justru soal rawan siswa, rawan putus sekolah, baik akibat zonasi atau akibat perkembangan ekonomomi. Masih ada keluarga rawan ekonomi, seperti tukang ojeg misalnya sehari dapat 50 ribu, besok tidak tahu, atau tukang gado gado, abang becak,” kata Fahmi, kepada WN.net, di Soreang, Senin (4/11).
Kondisi ekonomi masyarakat yang lemah itu, kata Fakmi, tidak menutupkemungkinan akan berdampak pada rawan sekolah. Begitu juga sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru, bisa berdampak pada putus sekolah, terutama bagi warga di daerahnya yang tidak ada sekolah.
Permasalahan tersebut, kata Fahmi harus disikapi, dievaluasi, dan menjadi perhatian Komisi D.
“Ukuran miskin itu yang bagaimana? Itu harus kita sikapi dan perhatikan,” kata Fahmi.
Menurut Fahmi, saat ini Komisi D fokus untuk melakukan pengawasan, legislasi, dan penganggaran di bidang kesehatan, pendidikan, sosial, ketenagakerjaan, dan kesejahteraan, sesuai bidang Komisi D.
Di bidang penganggaran, Komisi D konsen terhadap penganggaran kesehatan dan pendidikan agar dikelola secara profesional dan akuntabilitas publiknya teruji dan terbuka.
“Kita akan melakukan perubahan secara bertahap sesuai kemampuan, terutama prioritas yang akan dikejar, seperti masalah pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, dan sosial atau kesra,” ucap Maulana Fahmi, di Gedung DPRD Kabupaten Bandung, Soreang.
Komisi D, tutur Fahmi, akan melakukan komunikasi yang realltime terkait permasalahan tersebut.
“Ada masyarakat yang datang soal BPJS, rumah sakit, putus sekolah. Kita buka komunikasi DPRD dengan dinas terkait agar bisa membantu. Kita coba formalkan hal-hal demikian dan jangan tabu bila masyarakat datang ke dewan,” paparnya.
Mengenai fungsi pengawasan, kata Fahmi, di dewan ada slot-slot pekerjaan pengawasan. Seperti kunjungan ke lapangan, menyertakan dinas terkait yang ada masalah di lapangan, dan pengawasan soal anggaran.
“Itu semua sudah diatur sesuai undang-undang. Tinggal bagaimana kita disiplin dengan peraturan itu. Kadang-kadang kita melakukan pengawasan ke setiap OPD, kesannya ingin mengganggu, padahal tidak demikian. Karena itu, kita ingin bangun komunikasi yang konstruktif,” katanya.
Soal legislasi, tutur Fahmi, tugas dewan salah satunya membuat peraturan daerah. Namun di Pemkab Bandung ini banyak persoalan terkait perda tersebut.
Karena itu, dalam penyusunan perda harus disusun satu persatu sesuai prioritas.
“Misalnya kita mambaca potensi zakat di Kabupaten Bandung itu besar sekali, namun setelah kita diskusi dengan MUI dan Baznas, potensinya itu hanya 10 persen, karena itu kita kuatkan perda tentang zakat, kita evaluasi,” tutur Fahmi.
Zakat, sambung Fahmi, bisa digunakan untuk pembanguanan rumah sakit atau sekolah. Namun Baznas perlu profesional dalam mengelola zakat.
Pengumpulan dana zakat tidak hanya dari ASN. Bisa dari perusahaan, seperti karyawan pabrik.
“Katakan 10 ribu perseorang kali sekian penduduk Kabupaten Bandung, bisa terkumpul miliaran rupiah. Namun itu kita perlu dibuatkan dulu perdanya untuk kenaikan kapasitas optimalisasi di daerah,” ucapnya
Komisi D juga mengusulkan revisi Perbup tentang Pemilihan Kepala Desa. Perbup yang lama sudah tidak sesuai dengan kondisi real di lapangan.
“Seperti kasus kepala desa yang dinonaktifkan, ketika bupati mencabut status kepala desa dan membentuk Plt, dan kata pengadilan segera pemilihan ulang, ternyata perbupnya belum diatur itu bisa menghambat dan masyarakat menunggu perbup ini, makanya kita desak untuk segera dibuatkan Perbup,” kata Fahmi.
Agenda komisi yang sangat urgen, kata Fahmi, di antaranya soal pembangunan rumah sakit, khususnya BPJS yang minta menaikkan premi 100 persen.** Deddy R.